Menjadi Mahasiswa Akuntansi [Pilihan tak terduga]

2

Dalam setiap pilihan ada-ada saja yang potensial dikorbankan, tak terkecuali dengan pilihan saya menjadi seorang mahasiswa akuntansi. Konsekuensi atas itu adalah mencoba perlahan-lahan mengubur impian saya menjadi seorang dokter. Yah, impian yang dulu membuat saya begitu menyukai pelajaran NIAGA dan BIOLOGI di waktu SMK. Beriring dengan proses saya menjalani kehidupan sebagai mahasiswa akuntansi, semakin saya mengubur impian saya menjadi seorang dokter di rumah sakit. Ah, saya tetap calon dokter sebenarnya, kalau kata dosen-dosen saya, akuntan itu dokter perusahaan. Yah, saya agak geli membayangkannya, ternyata pasiennya adalah uang.

Satu tahun pertama menjalani kehidupan sebagai mahasiswa akuntansi, dan setelah dilantik tepat pada hari ini, saya mulai berpikir kembali, sehingga begitu membuat saya merasa ada yang salah dengan hidup yang saya jalani. Tiba-tiba saya harus merubah kecendrungan potensi otak saya dari yang dulunya otak kanan (saya suka berimajinasi, mengolah sesuatu yang tidak teratur, mnyukai keindahan) menjadi otak kiri (sistematis dan logis).

inilah saya pada saat pelantikan :
IMG_9646betapa kubersyukur selama ini, meskipun aku tak tahu bahwa hatiku memang memilih jalan ini, karna mungkin inlah yang terbaik bagiku….!!!

baru saya segera menyadari bahwa perubahan itu mestinya saya syukuri dan nikmati.
Inilah yang Tuhan gariskan pada hidup saya. Tidak selalu apa yang kita inginkan harus menjadi nyata bukan? Menyerah bukan berarti pasrah, tapi berusaha memahami bahwa memang ada hal yang tidak dapat dipaksakan. Karena tidak semua yang kita inginkan itu yang terbaik untuk kita.
meskipun angan dan cita-cita ku dari kecil jadi dokter, dan beberapa Perusahaan Farmasi telah aku masuki,
bahkan Perusahan MLM bagian obat-obatan juga telah kejalani…
berbagai penyuluhan dan seminar telah aku ikuti,
namun mulai saat ini,…….
Saya harus segera menghapus kata “dokter” (dalam arti sesungguhnya) dari catatan hidup saya

“I will be”.

Kado Spesial Di Hari Ibu…

1

Tidak cukup banyak orang yang memberikan ibu mereka keistimewaan di Hari Ibu. karena terkadang kita lupa bahwasanya hari ini, tanggal 22 Desember adalah Hari spesial buat para ibu,.
termasuk saya yang baru ingat karna diingatkan oleh kawand… hee…eeee

ada tiga ‘hadiah’ yang paling diinginkan para ibu di Hari Ibu. Apa saja?

1. Dimanjakan
Setiap harinya, para wanita yang menjadi ibu berkutat dengan rutinitas membersihkan rumah, memasak, mengurus anak, mencuci baju, menyetrika dan lain sebagainya. Sehingga tidak heran mereka ingin sekali, bisa mendapatkan libur satu hari.

2. Hadiah Istimewa
Kalau memang tak bisa memanjakan istri atau ibu, para suami dan anak-anak bisa memberikan wanita yang paling mereka cintai itu hadiah istimewa. Hadiah istimewa ini sebaiknya memang yang paling diinginkan ibu. Perhiasan, voucher belanja, voucher spa, kosmetik, peralatan memasak, baju atau apa saja yang memang ibu atau istri sudah lama inginkan. Apapun hadiah yang nantinya diberikan, kalaupun ternyata hanya sebuah surat yang berisi ucapan terimakasih Anda dan anak-anak, ibu dan istri akan tetap menganggapnya istimewa. Mereka merasa senang karena suami dan anak-anak ingat soal Hari Ibu ini.

3. Kumpul Bersama Keluarga
Meskipun ibu ingin punya satu hari libur dari segala rutinitas hariannya, tetap saja mereka ingin selalu dekat dengan keluarganya. Kumpul bersama ini bisa dengan piknik bersama ke tempat rekreasi, makan siang bersama, atau mungkin membuat foto keluarga. Kalau bisa seluruh kegiatan tersebut dilakukan tanpa si ibu harus repot melakukan segala sesuatunya.

tapi, bagi saya Kebahagiaan Ibu adalah Kebahagiaan ku juga, yang tidak bisa dinilai oleh apapun.
meskipun saya dan keluarga dipisahkan oleh jarak dan waktu, namun tidak menutup semangat buat saya untuk menjalani hari-hariku yang penuh dengan cerita.
IMG01916-20121222-1206
dihari ini, satu kadao istimewa yang bisa saya berikan adalah selembar Sertifikat hasil dari Kerja keras saya dalam menjalani kegiatan saya didunia pendidikan…
Ibu… Doakan selalu anakmu ini ditanah Rantau, kelak suatu saat nanti….
saya akan membahagiakan ibu dan ayah, selagi ada waktu untuk berbakti…
terimakasih ibu buat semuanya, Engkaulah Pahlawan dihidupku…
semoga TUHAN memberikan Umur yang panjang dan Rezki buat Ayah dan IBU, agar senantiasa tidak kekurangan suatu apapun…

Didalam Yesus Kristus, saya bawakan Ayah & Ibu kedalam Doa…
SELAMAT HARI IBU… You’re my Everything…
Love Mom & Dad Forever…. GBU*

Tak Ingin Putus [Jarak Jauh]

0

wtv4
Dalam menjalin hubungan dengan orang yang dicintai, komunikasi merupakan hal nomor satu yang penting.

Saya pernah nih, menjalin hubungan jarak jauh dan akibatnya hancur gara-gara komunikasi yang buruk.

Nostalgia sedikit, jadi ceritanya si dia sering tidak mau ngangkat telpon karena malu digodain si ortu. Apalagi sinyal telepon si dia emang gak gitu bagus disana, alhasil sms sering telat masuk. Ngebalesnya juga sering telat. Nelpon susah, suara putus-putus lagi. Amburadul deh.

Nah biar ini gak terjadi buat kamu-kamu pren, kudu menggunakan komunikasi anti tulalit. Nah loh apaan tulalit kayak ponsel jadul aje.

Kadang nih, kita salah mengartikan komunikasi yang baik dengan pacar. Contohnya aja kita curhat masalah terbaru, ngomelin kebiasaannya yang tak kita sukai.

Curhat sih tak ada salahnya, tapi jangan sampe si dia jadi objek pelampiasan. Ceritakan dengan jelas pesan dalam ceritamu itu. Selain itu, kita juga harus mau jadi pendengar yang baik. Pendengar yang baik juga berarti kita mengerti dengan maksud si dia dan meresponnya. Responnya pun tak boleh menyalahkan/membenarkan dengan nada yang tak kalah heboh.

Bagaimana dengan LDR? Intinya sama, komunikasi yang baik. Jaman sekarang, komunikasi jauh lebih gampang. Ada BBM, SMS, Telpon dimana saja, Facebook, MIRC, Skype, de el el.

Dan yang tak kalah penting, bicara apa adanya. Jangan karena cinta trus kamu nutupin kejelekannya dia, disimpen dalam hati dan dikubur bersama kapsul waktu sampai saatnya kapsul tersebut meledak.

Saya juga mengalami hal yang sama, yakni pasangan tak mau terbuka. Alhasil saat berantem hebat, keluarlah semua uneg-uneg si dia. Sangat disayangkan. Seandainya dia berkata tak suka, mungkin pertengkaran itu takkan pernah terjadi.

Jalani hubungan dengan santai, dengan komunikasi yang baik serta nyambung. Ingat, sayang saja tak cukup!

Menjadi Seorang Karyawan

0

wqf3q4t

Menjalani Rutinitas dengan perasaan “Happy” dan Riang tentu menjadi harapan setiap orang yang memutuskan menjadi seorang Pekerja (karyawan). Kenapa orang senang bekerja..? Ini bukan lagi menjadi sebuah pertanyaan dengan jawaban pasti, karena kondisi saat ini banyak faktor yang membuat Anda memilih jalan menjadi seorang Employee (Karyawan) dibandingkan menjadi Pengusaha atau Business Owner.

Adakalanya Anda berpikir Bekerja menjadi Kewajiban sebagai Tulang Punggung Keluarga, adakalanya Anda merasakan sebagai Keterkungkungan karena Keterbatasan Relasi untuk memilih Pekerjaan lain, dan adakalanya Anda menjadikan Pekerjaan sebagai Jalan Hidup sebagai bagian Aktualisasi Diri, sehingga mampu melaluinya dengan Semangat dan Antusias tinggi. Banyak juga saat ini orang memilih Bekerja karena alasan seperti “Bekerja adalah Ibadah”, “Bekerja adalah Panggilan Jiwa”, dll.

Berikut beberapa Alasan orang melewati hari-harinya dengan bekerja yakni:

Desakan Orang Tua. Setelah mereka memberikan Waktu dan Uang mereka untuk menyekolahkan Anda, tentunya setelah itu pertanyaan yang akan muncul pertama kali adalah, “Sudah Melamar Kerja kemana saja Kamu, Nak..?”. Inilah Alasan yang paling sering timbul kenapa Anda memilih bekerja, sebagai Imbalan bagi Orang Tua.
Kebutuhan Ekonomi. Anda yang telah berkeluarga ber”Kewajiban” dan ber”Tanggung Jawab” menghidupi Istri dan Anak-anak, bagi seorang wanita memiliki kepuasana jika dapat membantu Suami dalam perputaran roda ekonomi rumah tangga.
Ingin Menghasilkan Uang. Lulusan Perguruan Tinggi ata bahkan lulusan Sekolah Menengah Atas pun sangat excited keita dapat menghasilkan Uang dari hasil pekerjaan sendiri. Suatu kebanggaan Bekerja dan memperoleh Penghasilan setiap bulannya.
Bekerja itu “Mudah”. Anda merasa melamar kerja lebih mudah daripada membangun bisnis sendiri. Sudah pasti banyak orang berpendapat bekerja lebih mudah daripada wirausaha, karena banyak faktor dan parameter dalam membangun jiwa entrepreneurship. Kebanyakan bisnis dibangun dengan Modal dan Jaringan Besar, sehingga wawasan tentang kewirausahaan belum mendarahdaging bagi para lulusan baru.
Menjadi Orang yang “Tampak Baik”. Pada saat Anda melihat teman yang telah lebih dahulu menjadi seorang karyawan dalam perusahaan nasional, dan Anda memperhatikan perubahan yang dialaminya dibanding jaman sekolah dulu, Anda sangat tertarik memiliki Penampilan (performing) sebagaimana mereka.
Orang dan Keluarga juga Bekerja. Karena Tradisi keluarga yang Bekerja setelah Lulus Sekolah, membuat Pikiran Bawah Sadar Anda menggiring kearah yang sama untuk bekerja. Anda tentu pernah memperhatikan sebuah Keluarga yang berprofesi sebagai Guru, mulai Kakek, Bapak dan Ibu, Paman, Bibi atau Kakak mereka melakukan pekerjaan sebagai Guru.
Tidak ada yang Lebih Baik daripada Bekerja. Bahasa lain dari ini adalah “Aktualisasi Diri”. Anda merasa jika Latar Belakang Pendidikan Anda akan sia-sia jika hanya dipergunakan untuk berdagang kelontong atau membuka usaha Franchise. Anda melihat jiwa Anda tidak berkompromi jikalau tidak bekerja. Pilihan Bekerja merupakan Panggilan Hati Nurani sebagai Konsekuensi Pendidikan dan Pengetahuan.

Sejatinya Anda Bekerja atau Berwirausaha, merupakan Hak dan Kewajiban masing-masing Individu dalam menjalani Hidupnya. Melakoni Hidup dengan berbagai macam cara adalah pilihan Anda dan menjadi bagian dari Passion of Life. Bekerja dalam Hidup sebagai Karyawan atau Bekerja membangun Usaha Sendiri sebagai Business Owner adalah pilihan yang sama-sama baik jika dilakoni sesuai norma yang ada.

Bingung [Jadi Karyawan atau Pengusaha]

0

efeq
Bingung [Jadi Karyawan atau Pengusaha]…?????????????????????????
Pertanyaan di atas ramai diper­bin­cang­kan belakangan ini dan menjadi topik pembicaraan yang menarik. Pemicunya pun sudah dapat ditebak: se­minar-seminar motivasi yang kini semakin menjamur.

Berbagai seminar tersebut sangat me­narik dan sungguh menyemangati ki­ta untuk beralih profesi dari karyawan men­jadi pengusaha. Menjadi pengusaha me­mang sungguh menjanjikan. Kita dapat le­bih cepat mengumpulkan kekayaan dan se­kaligus menjadi orang yang terhormat. Menjadi pengusahapun berkontribusi langsung terhadap kemajuan suatu bangsa.

Konon suatu negara baru dapat di­kata­kan makmur bila jumlah wirausahanya mencapai 2% dari total penduduk. Bahkan sebuah hadits Nabi pun dikutip untuk memperkuat argumen ini. Hadits tersebut me­ngatakan bahwa 9 dari 10 pintu rezeki di­peroleh dengan berwirausaha.

Semua argumen tersebut telah men­jadi wacana yang mengemuka dalam ma­sya­rakat kita. Ini membuat banyak orang ban­ting stir menjadi pengusaha. Menjadi pengusaha seakan-akan menempatkan kita di posisi yang lebih terhormat daripada menjadi karyawan. Pengusaha adalah warga kelas satu sementara karyawan seakan menjadi warga kelas dua.

Bahkan seorang kawan saya yang bergaji puluhan juta rupiah pun ketika ditanya mengenai pekerjaannya sama sekali tidak menunjukkan kebanggaan dan hanya berkata singkat, “Saya ini hanya bu­ruh.” Kawan yang lain bilang, “ Saya hanya orang gajian. Saya masih bekerja dengan orang lain.” Padahal, boleh jadi nasibnya jauh lebih beruntung daripada mereka yang kini sudah beralih profesi menjadi pengusaha.

Rumput tetangga memang selalu le­bih hijau. Saya kira pepatah lama itu ma­sih relevan untuk menggambarkan kegalauan yang kini banyak diderita oleh para karyawan dan pengusaha. Karyawan merasa minder dan kehilangan kebanggaan terhadap pekerjaan mereka. Mereka me­rasa kalah set dengan teman-temannya yang telah menjadi pengusaha.

Sebaliknya banyak juga pengusaha yang malah membayangkan betapa nik­matnya menjadi seorang karyawan: tidak harus pusing memikirkan bagaimana mengembangkan usaha dan membayar gaji karyawan. Mereka baru menyadari bahwa menjadi pengusaha ternyata tidak mudah dan juga tidak aman.

Setelah menjalani usaha beberapa waktu lamanya mereka kini berhadapan dengan jalan buntu. Mereka tidak tahu lagi apa yang harus diperbuat untuk mengembangkan bisnisnya. Jadilah kedua kelompok itu menderita kegalauan yang tidak berujung.

Tujuan yang Salah

Kegalauan semacam itu mestinya tidak perlu terjadi kalau kita memulai segala se­suatu dengan tujuan yang benar. Namun, di sinilah letak masalahnya. Banyak orang yang menjalani profesi sebagai pengusaha maupun karyawan memulainya dengan tujuan yang salah. Atau bahkan mereka tidak pernah memikirkan tujuan apa pun tetapi hanya menjalani kehidupan sesuai dengan tren yang mutakhir.

Banyak orang banting stir menjadi peng­usaha karena menginginkan ke­ka­yaan yang berlimpah. Mereka sudah mem­ba­yangkan bahwa dengan kekayaan yang ber­limpah itu mereka bisa hidup dengan nyaman, bebas berbelanja serta berlibur dengan keluarga keluar negeri.

Selain itu, mereka juga akan memiliki waktu luang yang tidak terbatas. Para calon pengusaha itu mendambakan apa yang disebutnya sebagai work life balance. Ini yang tidak akan mereka dapatkan se­lama menjadi karyawan. Karena itu me­reka berlomba menjadi pengusaha agar mempunyai banyak waktu dengan anggota keluarga. Selain itu, ada juga yang menjadi pengusaha karena alasan ego: ingin men­jadi bos terhadap diri sendiri dan tidak mau lagi diperintah oleh atasan.

Semua alasan ini sungguh tidak tepat. Orang-orang yang menganut alasan ter­sebut sesungguhnya telah salah kaprah. Me­reka hanya membayangkan hal-hal yang nyaman saja dari seorang pengusaha. Mereka lupa bahwa menjadi pengusaha sesungguhnya berarti harus bekerja jauh lebih keras dibandingkan dengan menjadi karyawan.

Mereka lupa bahwa menjadi pengusaha akan membuat mereka ke­hilangan wak­tu lebih banyak karena tuntutan un­tuk selalu me­mikirkan bisnis. Mereka juga akan ber­ada pada ‘zona tidak nyaman’ karena bo­leh jadi akan senantiasa dibayangi oleh ri­siko kebangkrutan yang bisa terjadi kapan saja.

Menjadi pengusaha sesungguhnya ber­arti harus bekerja jauh lebih keras daripada menjadi karyawan. Keinginan untuk hidup enak dan mudah ini sesungguhnya sangat bertentangan dengan etos kerja pengusaha dan inilah yang sering membuat seorang pengusaha gagal dalam menjalankan bisnisnya.

Hal ini sesungguhnya bisa dicegah ka­lau kita mempunyai paradigma yang be­nar tentang wi­rausaha. Sesungguhnya alas­an terbaik untuk menjadi pengusaha ada­lah bagaimana agar kita bisa le­bih memanfaatkan po­tensi diri kita, me­ngem­bang­kan diri sebaik mungkin dan menjadi individu yang bernilai tambah bagi orang lain.

Yang Mana Calling Anda?

Yang menarik yang ingin saya sam­pai­kan di sini adalah bahwa tidak semua orang dikirim Tuhan ke dunia ini untuk menjadi pengusaha. Karena itu kita harus pandai-pandai membaca sinyal-sinyalnya. Anda mungkin berbakat menjadi peng­usaha kalau Anda mempunyai energi lebih yang tidak dapat terakomodasi dalam se­buah posisi di organisasi.

Anda mungkin juga mempunyai banyak ide yang akan sulit diwujudkan selama Anda berada di bawah kendali orang lain. Sinyal-sinyal itulah yang saya sebut dengan calling (panggilan). Panggilan itu sendiri sejatinya berasal dari Tuhan. Jadi ada orang yang memang sudah diutus Tuhan ke dunia ini untuk memberi manfaat kepada banyak orang dengan menjadi pengusaha. Mereka dibekali ide yang luar biasa banyak dan diberikan kemampuan yang luar biasa besar untuk membaca dan memanfaatkan peluang.

Sebaliknya, ada orang-orang tertentu yang calling-nya adalah sebagai pro­fesio­nal. Mereka juga dianugerahi talenta yang luar biasa dari Tuhan tetapi talenta tersebut bukanlah da­lam bentuk ke­mampuan mem­baca peluang se­perti yang di­miliki oleh pengusaha. Orang-orang seperti ini lebih cocok menjadi kar­yawan, karena dengan menjadi karyawan ini mereka bisa memberikan nilai tambah yang luar biasa kepada orang lain.

Mereka adalah para profesional yang menguasai bidangnya tetapi tidak ingin dibebani dengan berbagai risiko seperti yang dialami oleh para pengusaha.
Jadi kesimpulannya, setiap orang me­miliki calling-nya masing-masing apakah menjadi karyawan atau menjadi pengusaha, karena itu tugas kita semua adalah menemukan calling kita masing-masing dan menjalankan kehidupan sesuai dengan calling kita itu. Menjadi karyawan dan pengusaha itu sama mulianya sejauh kita bisa mengabdikan hidup kita untuk memberikan nilai tambah kepada sesama manusia.